DMBGlobal.CO.ID – Dalam beberapa waktu terakhir, pasar karbon telah menjadi topik yang semakin sering dibicarakan dalam ruang publik di Indonesia.
Mungkin Anda sudah mendengar istilah ini, namun masih bingung mengenai konsep dasar dari pasar karbon. Tidak perlu khawatir, di sini kami akan membahasnya dengan cara yang mudah dipahami.
Yang lebih menarik lagi, pada 20 Januari 2025, Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi menjual karbon untuk pertama kalinya kepada entitas asing. Ini adalah pencapaian besar, namun apa yang sebenarnya terjadi? Mari kita telaah lebih lanjut!
Apa Itu Pasar Karbon?
Bayangkan Anda memiliki pohon mangga di halaman rumah Anda. Selain menghasilkan buah, pohon tersebut juga menyerap karbon dioksida (CO₂) yang ada di udara, gas yang berkontribusi pada pemanasan global.
“Kontribusi” pohon Anda dalam mengurangi emisi karbon ini dapat dihargai dalam bentuk yang disebut kredit karbon.
Sebagai contoh lainnya, sebuah pabrik yang sebelumnya menggunakan batu bara untuk operasional, kemudian beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan seperti panel surya atau biomassa.
Pengurangan emisi yang dihasilkan dari peralihan ini dapat dihitung dan dihargai dalam bentuk kredit karbon. Semakin jelas, bukan?
Dalam skenario ini, ada pabrik lain yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar.
Daripada mengurangi seluruh emisi mereka, yang mungkin mahal dan sulit, mereka bisa membeli kredit karbon dari proyek Anda yang telah menyerap sebagian dari karbon tersebut.
Dengan demikian, pabrik tersebut tetap beroperasi sambil memberikan “kompensasi” terhadap dampak lingkungan yang mereka timbulkan. Inilah inti dari pasar karbon.
Ada dua jenis pasar karbon, yaitu pasar wajib dan pasar sukarela (voluntary market):
- Pasar Wajib: Diatur oleh pemerintah, di mana perusahaan besar yang menghasilkan polusi diwajibkan untuk membeli sertifikat karbon guna menyeimbangkan emisi yang mereka hasilkan.
- Pasar Sukarela: Pasar ini bersifat sukarela, di mana siapa saja yang ingin berkontribusi terhadap pengurangan emisi meskipun tidak diwajibkan oleh hukum, dapat membeli kredit karbon.
Indonesia memiliki kedua jenis pasar ini. Perdagangan karbon internasional pertama yang dilakukan di BEI pada 20 Januari 2025 lebih difokuskan pada pasar sukarela.
Di pasar ini, siapa saja—baik perusahaan maupun individu—dapat membeli kredit karbon sebagai bagian dari kontribusi mereka terhadap pengurangan emisi global, meskipun tidak ada kewajiban hukum yang mendasarinya.
Apa yang Dijual di Pasar Karbon?
Yang diperjualbelikan di pasar karbon bukanlah karbon itu sendiri, melainkan sertifikat karbon.
Sebagai contoh, sebuah proyek yang berhasil menyerap 1 ton karbon dioksida (CO₂eq) dari atmosfer akan menerima sertifikat setara 1 ton CO₂ yang dapat dijual kepada perusahaan lain.
Dengan membeli sertifikat ini, perusahaan tersebut berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon.
Selain itu, di pasar wajib terdapat sistem kuota. Pemerintah menetapkan batas emisi (kuota) untuk setiap perusahaan.
Jika emisi perusahaan lebih rendah dari kuota yang diberikan, sisa kuota tersebut dapat dijual kepada perusahaan lain yang melebihi batas emisi yang telah ditentukan.
Misalnya, perusahaan A diberi kuota emisi sebesar 100 ton CO₂, namun mereka hanya menghasilkan 80 ton CO₂, sehingga mereka dapat menjual sisa 20 ton kepada perusahaan B yang emisinya lebih tinggi.
Apa Itu CO₂eq?
CO₂eq adalah singkatan dari karbon dioksida ekuivalen. Istilah ini digunakan untuk menyamakan dampak dari berbagai gas rumah kaca yang ada di atmosfer, seperti karbon dioksida (CO₂), metana (CH₄), dan dinitrogen oksida (N₂O), yang masing-masing memiliki kekuatan berbeda dalam memerangkap panas.
Para ilmuwan menggunakan CO₂eq untuk mengukur dampak pemanasan global dari berbagai gas tersebut, sehingga CO₂eq menjadi “mata uang” universal dalam mengukur kontribusi setiap gas rumah kaca terhadap perubahan iklim.
Apa yang Terjadi pada 20 Januari 2025?
Kembali pada 20 Januari 2025, hari itu menjadi momen bersejarah bagi Indonesia karena Bursa Efek Indonesia (BEI) secara resmi menjual sertifikat karbon kepada entitas asing untuk pertama kalinya.
Ini menandai langkah besar Indonesia dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Namun, meskipun ini adalah pencapaian yang signifikan, tantangan besar masih tetap ada.
Pada peluncuran perdagangan karbon global tersebut, volume perdagangan tercatat mencapai 41.822 ton karbon ekuivalen, yang melibatkan 5 proyek pengurangan emisi dan 9 pengguna jasa.
Meskipun demikian, menurut IESR, ada beberapa kekurangan dalam desain pasar karbon Indonesia, seperti ketidakjelasan mengenai pihak yang bertanggung jawab dalam pengurangan emisi di setiap sektor.
Seharusnya, prinsip dasar yang diterapkan adalah “Siapa yang menghasilkan emisi, dia yang bertanggung jawab untuk menguranginya.” Sayangnya, implementasi prinsip ini belum berjalan dengan optimal.
Contoh Masalah di Indonesia
Sebagai contoh, Anda mungkin sudah familiar dengan PLN (Perusahaan Listrik Negara). PLN mengoperasikan sejumlah pembangkit listrik berbasis fosil yang menyumbang emisi karbon tinggi. Seharusnya, PLN lebih fokus pada upaya untuk:
Meningkatkan efisiensi teknologi pembangkit listrik.
Mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sudah tidak efisien.
Namun, alih-alih mengurangi emisi secara langsung, PLN malah menjual proyek pengurangan emisi mereka melalui bursa karbon.
Bukankah akan lebih baik jika mereka mengurangi emisi mereka sendiri? Inilah salah satu tantangan besar Indonesia dalam memastikan bahwa pasar karbon tidak hanya menjadi ajang jual beli sertifikat tanpa adanya aksi nyata untuk menjaga lingkungan.(*Sumber: idx.co.id/jejakkarbonku.id)