Potensi 333 GW Energi Terbarukan Siap Kembangkan Investasi di Indonesia
DMBGlobal.CO.ID – Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang mencapai 333 Gigawatt (GW), terdiri dari sumber energi surya, angin, dan hidro.
Potensi ini dinilai sangat layak dikembangkan dari sisi ekonomi dan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor energi bersih.
Komisi XII DPR saat ini sedang dalam proses merancang Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT). Untuk memperkaya informasi dan strategi pengembangannya, Komisi XII mengundang Institute for Essential Services Reform (IESR) sebagai narasumber.
Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menyampaikan hasil studi lembaganya mengungkap potensi EBT sebesar 333 GW yang secara teknis dan ekonomi siap dikembangkan.
“Kami menemukan potensi 333 Gigawatt potensi energi terbarukan punya kelayakan secara ekonomi,” kata Deon dalam audiensi bersama Komisi XII DPR, Senin (5/05/2025).
Studi yang diselesaikan pada Februari 2025 tersebut mencakup asesmen lahan teknis dan kelayakan proyek dari sisi finansial.
Lokasi-lokasi potensial dianalisis dengan ketat, termasuk faktor kedekatannya dengan infrastruktur seperti gardu induk PLN agar pengembangan energi lebih efisien melalui jaringan eksisting.
Analisis finansial menggunakan model yang lazim dipakai dalam proyek pengembangan energi dan mengacu pada regulasi tarif Peraturan Presiden No.112 Tahun 2022.
Mayoritas potensi ini berasal dari tenaga surya, disusul oleh tenaga angin dan mini hidro. Jawa menjadi wilayah utama karena infrastrukturnya lebih siap, namun Deon menekankan bahwa wilayah luar Jawa juga menyimpan potensi besar.
“Di Sulawesi banyak kawasan industri sehingga bisa dicocokan antara supply and demand,” ujarnya.

Ia juga mencatat bahwa wilayah seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua menyimpan potensi angin yang tinggi, dengan potensi imbal hasil investasi di atas 10 persen.
Sementara itu, EBT dari energi hidro cenderung menghasilkan kapasitas kecil, sekitar 10 Megawatt (MW), sehingga lebih tepat digunakan untuk sistem kelistrikan lokal.
Menurut Deon, strategi percepatan pemanfaatan 333 GW ini sangat penting karena butuh pembuktian kelayakan dan skema investasi yang mendukung.
Ketersediaan pasokan listrik berbasis EBT menjadi faktor penting dalam keputusan investasi perusahaan. Target penggunaan EBT 100 persen pada 2030 sulit dicapai tanpa ekosistem pendukung yang kuat, membuat beberapa investor lebih melirik negara tetangga.
Menurut Deon, implementasi EBT bisa dilakukan dengan regulasi yang sudah ada atau melalui penyempurnaan kebijakan agar lebih ramah terhadap investor. PLN tetap memiliki peran kunci dalam distribusi dan transmisi energi terbarukan.
Deon juga merekomendasikan peningkatan skema pengadaan EBT yang cepat dan efisien, insentif investasi, serta kewajiban transfer teknologi untuk manufaktur surya dan baterai.
Ia menambahkan, dibutuhkan regulasi pendukung untuk pendanaan penghentian PLTU dan percepatan akses EBT.
Pemerintah daerah juga diimbau untuk mengenalkan mekanisme pendanaan alternatif guna memperluas akses EBT, terutama di wilayah tertinggal yang menghadapi tantangan pendanaan dan pengembangan skala kecil.
“Lebih agresif lagi membatasi emisi dan menerapkan pajak karbon,” usulnya.
IESR sendiri telah menjalin kerja sama dengan berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian ESDM untuk menyusun roadmap penghentian PLTU, serta Kementerian Perindustrian dalam merancang peta jalan dekarbonisasi industri di sembilan sektor.
Wakil Ketua Komisi XII DPR, Sugeng Suparwoto, menyatakan adanya kesamaan pandangan antara Komisi XII dan IESR soal pentingnya pengembangan EBT.
Ia menekankan pentingnya pengembangan ekosistem transmisi seperti konsep power wheeling, serta peran PLN sebagai penyedia infrastruktur dasar energi.
“Itu menjadi concern kita agar PLN sebagai state enterprise, mewakili negara menyiapkan infrastruktur dasar jaringan karena ujungnya nanti persoalan mahal atau tidaknya. EBT tidak berkembang karena tidak ada mekanisme yang adil,” ujarnya.
Sugeng juga menegaskan bahwa transisi energi di Indonesia bukan sekadar mengikuti tren global, melainkan kebutuhan mendesak untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan mencapai target net zero emission paling lambat tahun 2060.(*Sumber: TV Parlemen)