DMBGlobal.CO.ID – Dalam upaya memperluas pasar karbon dan meningkatkan kontribusi terhadap pengurangan emisi global, Pemerintah Indonesia membuka peluang kerja sama Persetujuan Saling Pengakuan atau Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan berbagai negara.
Langkah ini diambil untuk mempercepat pertumbuhan perdagangan karbon lintas batas negara.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyampaikan Indonesia akan segera menjalin kolaborasi dengan Norwegia.
“Selanjutnya mungkin beberapa sudah menunggu dari Korea Selatan, Jepang, dari Denmark. Dari skema yang sudah siap dari Vierra dan Plan Vivo,” ungkap Hanif saat ditemui di Jakarta Selatan, Kamis (8/5/2025).
Sertifikasi SPEI Berlaku Global

Hanif menegaskan Sertifikasi Pengurangan Emisi Indonesia (SPEI), yang menjadi instrumen utama dalam mekanisme perdagangan karbon internasional, telah diakui dan berlaku secara global.
Hal ini memberikan keyakinan kepada pelaku usaha SPEI memiliki daya saing di pasar internasional.
Sebelumnya, Indonesia dan Jepang telah menandatangani MRA dalam ajang Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) yang berlangsung di Azerbaijan pada 2024.
Terbaru, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga menjalin kemitraan strategis dengan Gold Standard Foundation guna memperluas akses pasar karbon.
Melalui kerja sama ini, kedua belah pihak menyepakati pengakuan bersama atas upaya pengurangan emisi melalui SPEI dan Gold Standard for the Global Goals (GS4GG).
Kolaborasi tersebut juga mendukung pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC), sebagai bagian dari komitmen iklim jangka panjang Indonesia.
“MRA bukan sekadar perjanjian semata, melainkan terobosan guna membuka pintu bagi proyek karbon menembus pasar internasional,” ujar Hanif.
Pajak Perdagangan Karbon dan Regulasi Domestik
Selain menjalin kerja sama internasional, pemerintah juga sedang mematangkan skema pajak perdagangan karbon untuk diajukan ke Kementerian Keuangan.
Kebijakan ini bertujuan memperkuat ekosistem karbon nasional dan memastikan bahwa setiap transaksi karbon tetap mengikuti aturan yang berlaku.
Transaksi karbon di Indonesia nantinya harus dilakukan melalui Sistem Registri Nasional, serta diperdagangkan terlebih dahulu di pasar domestik. Di sisi lain, pembeli karbon diwajibkan untuk mematuhi semua ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
“Kami akan usulkan kembali ke Kementerian Keuangan untuk menentukan usahanya, besarnya perdagangan karbon yang tax based atau berdasarkan teknologi atau natural based,” jelas Hanif.
Langkah-langkah ini diharapkan dapat mendorong integrasi pasar karbon Indonesia ke tingkat global sekaligus menciptakan peluang investasi hijau yang berkelanjutan.(*Sumber: Kompas.com)