DMBGlobal.CO.ID – Asian Development Bank (ADB) mengungkapkan bahwa negara-negara Asia Tenggara memerlukan investasi setidaknya 100 miliar dolar AS untuk membangun jaringan transmisi listrik regional guna mendukung integrasi energi terbarukan pada tahun 2045.
Proyek ini bertujuan untuk menyatukan sistem kelistrikan di kawasan ASEAN agar lebih efisien dan berkelanjutan.
Direktur Energi ADB, Keiju Mitsuhashi, mengatakan kebutuhan dana besar tersebut disebabkan oleh pentingnya membangun dan memperkuat infrastruktur interkonektor di masing-masing negara anggota ASEAN.

“Kami memiliki 10 negara di ASEAN dan setiap negara membutuhkan sejumlah besar investasi dalam sistem jaringan transmisi mereka sendiri,” ujarnya, dikutip dari Eco Business, Selasa (10/6/2025).
Interkonektor sendiri adalah infrastruktur penting yang memungkinkan koneksi antarjaringan listrik nasional dan nantinya antarnegara.
Sebelum konektivitas regional dapat diwujudkan, setiap negara harus terlebih dahulu memastikan jaringan domestiknya kuat dan terhubung dengan baik.
Filipina diperkirakan membutuhkan investasi minimal 10 miliar dolar AS untuk pembangunan jalur transmisinya.
Sementara itu, negara-negara dengan wilayah yang lebih luas seperti Indonesia, Vietnam, dan Malaysia diprediksi memerlukan dana yang jauh lebih besar.

Investasi besar ini menjadi kunci dalam transisi menuju energi terbarukan. Sebagian besar sumber daya energi seperti tenaga surya dan angin berada di lokasi terpencil, jauh dari pusat konsumsi listrik.
Oleh karena itu, jaringan transmisi akan berfungsi sebagai “jembatan” penting untuk mengalirkan listrik bersih dari sumber ke pengguna.
Integrasi energi terbarukan juga menghadirkan tantangan karena sifatnya yang tidak stabil. Untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan, sistem listrik nasional memerlukan pembangkit dasar yang stabil.
Inilah alasan utama mengapa peningkatan dan modernisasi jaringan transmisi menjadi sangat penting.
Sebagian besar infrastruktur transmisi listrik di Asia Tenggara masih dikuasai oleh perusahaan milik negara. Karena itu, pendanaan besar untuk proyek ini akan sangat bergantung pada perusahaan-perusahaan negara di tiap negara anggota ASEAN.

Negara seperti Brunei, Kamboja, Laos, dan Myanmar masih bergantung penuh pada utilitas yang dikendalikan pemerintah.
Sementara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam telah membuka sebagian pasarnya untuk produsen listrik swasta independen (IPP), namun transmisi dan distribusinya tetap dikelola negara.
Di sisi lain, Filipina dan Singapura sudah menerapkan sistem pasar listrik grosir yang lebih kompetitif.(*Sumber: Kompas.com)