DMBGlobal.CO.ID – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memicu ketegangan dalam hubungan dagang global.
Kali ini orang nomor satu Amerika itu memperluas cakupan tarif yang tidak hanya menyasar China, tetapi juga seluruh negara mitra dagang negaranya, AS.
Dalam situasi ini, Economic Policy Uncertainty Index, alat ukur yang dikembangkan oleh para ekonom dan lazim digunakan kalangan bisni telah mencatatkan posisi tertingginya dalam beberapa dekade terakhir.
Kondisi ini menjadi sinyal serius bagi proyek-proyek transisi energi, yang pada umumnya bergantung pada investasi besar dengan masa pengembalian jangka panjang.
Menurut analisis BloombergNEF (BNEF), dampak dari kebijakan ini akan beragam, tergantung pada sektor dan negara masing-masing.
Perkiraan BNEF menunjukkan kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur akan mengalami dampak paling besar dari tarif yang diberlakukan Trump.
Meskipun tarif minimum sebesar 10% diterapkan secara menyeluruh, banyak negara di dua kawasan tersebut menghadapi tarif yang jauh lebih tinggi.
Di sisi lain, sejumlah negara dalam wilayah ini mengandalkan AS sebagai tujuan utama ekspor energi bersih mereka.
Sebagai ilustrasi, Uni Eropa yang menghadapi tarif 20%, mengekspor produk energi bersih senilai sekitar 25 miliar dolar AS ke AS pada tahun 2024.
Sebaliknya, Kamboja yang dibebankan tarif sebesar 49% hanya mampu mengekspor produk sejenis senilai 820 juta dolar AS.
Walau secara nominal lebih kecil, nilai tersebut mewakili 9% dari total ekspor Kamboja ke Amerika, jauh lebih besar dibandingkan dengan porsi ekspor energi bersih Uni Eropa ke AS yang hanya 1%.
Di antara negara-negara Asia lainnya, China mencatatkan diri sebagai eksportir terbesar produk energi bersih ke AS, dengan nilai 22 miliar dolar AS pada 2024, meskipun itu hanya mencakup 4,2% dari total ekspor China ke AS.
Korea Selatan dan Vietnam masing-masing mengekspor senilai 12,1 miliar dolar AS dan 6,3 miliar dolar AS, yang mewakili 9,47% dan 5,51% dari keseluruhan ekspor mereka.
Selain menghantam ekspor produk energi bersih dari Asia, tarif Trump juga diperkirakan akan menghambat pertumbuhan sektor baterai dan jaringan listrik (power grid) dalam negeri AS.
AS, sebagai penghasil emisi karbon terbesar kedua setelah China, sangat bergantung pada pasokan bahan baku energi bersih seperti lithium iron phosphate (LFP) yang berasal dari China.
Menurut BNEF, tarif tambahan terhadap impor dari China berpotensi menaikkan harga baterai hingga 17,5% pada 2026, di luar kenaikan yang sebelumnya telah dipicu oleh kebijakan tarif era Presiden Joe Biden.
Boston Consulting Group (BCG) mencatat sekitar 85% bahan utama penyusun baterai buatan AS masih berasal dari impor.
Bahkan, BNEF memproyeksikan pada 2025, seluruh separator baterai, 83% katoda, dan 67% anoda masih perlu diimpor guna memenuhi permintaan domestik yang berarti harga baterai di pasar AS akan melonjak.
Tetapi, tidak semua sektor akan terdampak secara signifikan. BNEF memproyeksikan sektor angin darat (onshore wind) di AS akan relatif stabil, berkat rantai pasokan domestik yang solid.
Selain itu, AS juga memiliki cadangan sekitar 50 gigawatt (GW) panel surya yang telah diimpor dari Asia Tenggara sebelum kebijakan tarif diberlakukan, yang dapat membantu meredam dampak jangka pendek.
BCG dan International Energy Agency (IEA) mengungkapkan industri transisi energi sudah cukup terbiasa menghadapi berbagai hambatan dagang, baik yang berbentuk tarif maupun non-tarif.
Komponen-komponen utama seperti panel surya dan elektroliser kerap menjadi sasaran kebijakan tersebut.
Menurut mereka, jumlah hambatan dagang terhadap produk baterai mencapai 51 pada 2024, jumlah yang sama juga berlaku untuk sel surya, dan sebanyak 47 hambatan dikenakan terhadap kendaraan listrik.
“Hal ini memberi mereka keunggulan adaptif dibandingkan dengan sektor besar lainnya dalam menghadapi ketidakpastian dagang,” ujar Managing Director BCG, Bas Sudmeijer.
Lebih jauh, Sudmeijer juga menyoroti risiko yang lebih mengkhawatirkan dalam perdagangan energi bersih bukan hanya dari sisi biaya, tetapi juga dari potensi terganggunya rantai pasok global seperti akibat penutupan Terusan Suez.
Ia mengatakan, “Setiap produsen akan bilang, dibutuhkan 3.000 komponen untuk membuat satu trafo, tetapi cukup satu komponen hilang dan seluruh produksi berhenti.”
Jika tarif tinggi berujung pada resesi, maka emisi gas rumah kaca mungkin akan menurun sementara karena menurunnya aktivitas ekonomi.
Tetapi, menurut analis UBS Group AG, pendekatan semacam ini tidak dapat dijadikan solusi jangka panjang.
Mereka menulis, “Aktivitas ekonomi yang lebih rendah memang menghasilkan emisi karbon yang lebih sedikit. Tetapi, kita sudah belajar dalam lima tahun terakhir sejak pandemi Covid-19 bahwa ini bukan solusi jangka panjang.”
Tahun lalu tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, dengan suhu rata-rata global nyaris melampaui ambang batas 1,5°C dibandingkan era pra-industri.
Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Trump diperkirakan akan makin memperberat tantangan dalam upaya membatasi pemanasan global, khususnya di AS.
UBS menyebut, “Tarif akan mendorong kenaikan biaya teknologi bersih, padahal saat ini biayanya di AS sudah jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain.”(*Sumber: Bloomberg.com)