DMBGlobal.CO.ID – Mohamad Bijaksana Junerosano, Founder dan CEO Waste4Change, menyampaikan pandangan kontras: di tengah makin tingginya urgensi pengelolaan sampah, pendanaan justru masih berjalan di tempat. Pemerintah, menurutnya, tidak bisa terus berharap pada cetak biru lama dengan tinta yang telah pudar.
“Pendanaan dari APBD tidak mencukupi untuk menjamin cakupan layanan yang merata di seluruh Indonesia. Tanpa skema pendanaan baru yang inovatif dan berkelanjutan, sistem ini akan terus pincang,” ungkap Sano dikutip dari Kompas.com, Jumat (16/5/25).
Pernyataan ini menyiratkan kebutuhan akan langkah berani sebuah pendekatan yang bukan hanya menambal kekurangan, melainkan mengganti dasar cara berpikir tentang pembiayaan pengelolaan sampah di Indonesia.
Strategi Lama Tak Lagi Bankable, Saatnya Sistem Baru yang Layak Dibiayai
Sano menyoroti pentingnya membangun strategi pengelolaan sampah yang bankable layak secara finansial untuk dibiayai dan dikembangkan. Namun, strategi tidak bisa berdiri sendiri.
Ia harus diiringi sistem retribusi yang adil dan transparan, serta kepastian tentang porsi peran sektor swasta dalam menjalin kemitraan bersama pemerintah daerah.
Paradoksnya, dalam negara yang besar dengan ambisi lingkungan yang tinggi, koordinasi antarlevel pemerintahan masih belum solid. Seolah setiap pihak berjalan sendiri-sendiri dalam satu lintasan yang seharusnya disusun bersama.
“Kita tidak butuh sekadar program baru, kita butuh arah yang jelas, dukungan pendanaan yang nyata, dan ruang kolaborasi yang terbuka,” kata Sano tegas.
Timbunan yang Terus Bertambah, Solusi yang Masih Mengambang

Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional menunjukkan bahwa pada 2024, timbulan sampah nasional mencapai 33 juta ton per tahun. Sayangnya, infrastruktur yang tersedia masih tertinggal jauh dari kebutuhan lapangan.
“Bahkan, masih banyak kota dan kabupaten yang belum memiliki sistem pemilahan di sumber, sementara TPA terus menumpuk tanpa kejelasan solusi jangka panjang,” imbuh dia.
Hal ini menunjukkan kontras yang menyakitkan: di satu sisi masyarakat terus menghasilkan sampah, di sisi lain sistem pengelolaan masih gagap menghadapi kenyataan.
Menuju Ekonomi Sirkular: Jalan Satu-satunya yang Masuk Akal
Pengelolaan sampah bukan hanya soal teknis, tapi juga soal visi jangka panjang. Sano menekankan tantangan saat ini bukan hanya menyentuh keterbatasan anggaran dan lemahnya kebijakan, tetapi juga rendahnya kesadaran publik terhadap urgensi perubahan.
“Kami percaya bahwa saatnya Indonesia berpindah ke arah ekonomi sirkular, bukan karena itu tren global, tetapi karena itu satu-satunya jalan keluar yang masuk akal dan berkelanjutan,” tutur dia.
Dalam logika paradoksal, justru karena pilihan semakin sedikit, arah kita menjadi lebih jelas.
Waste4Change: Ketika Sampah Menjadi Sumber Nilai Baru
Mewujudkan mimpi besar perlu dimulai dari tindakan konkret. Waste4Change, di tengah kompleksitas sistem nasional, telah menggandeng berbagai pihak, dari sektor komersial hingga individu dalam program Extended Producer Responsibility.
Program ini memungkinkan pengumpulan kemasan langsung dari masyarakat, membalikkan arah alur limbah menjadi potensi.
Tak hanya itu, mereka juga mengembangkan fasilitas pengolahan anorganik dan organik untuk mengurangi tekanan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), menciptakan bahan daur ulang yang bernilai, hingga memproduksi kompos.
“Kami melibatkan komunitas dan mitra lokal melalui digitalisasi sistem bank sampah untuk memastikan alur material tidak putus dan bisa bernilai kembali,” kata Sano.
Ketika Krisis Menjadi Kesempatan
Di tengah keterbatasan lama, skema baru bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan. Saat jalan lama membawa kita ke jurang kebuntuan, mungkin saatnya melangkah mundur untuk loncatan lebih tinggi.
Indonesia, dalam ironi pengelolaan sampahnya, menyimpan potensi luar biasa asal semua pihak mau berkolaborasi, bukan berkompetisi.(*Sumber: Kompas.com)