Lebih dari 170 Negara Belum Perbarui Komitmen Iklim Sesuai Perjanjian Paris

DMBGlobal.CO.ID – Menurut International Institute for Environment and Development (IIED), lebih dari 170 negara belum mengajukan target iklim terbaru sebagaimana diamanatkan dalam Perjanjian Paris.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi keterlambatan dalam pelaksanaan aksi global untuk menanggulangi perubahan iklim, padahal telah ada kerangka kerja internasional yang disepakati.

Pembaruan target iklim ini sejatinya perlu disampaikan paling lambat awal tahun 2025 agar dapat dievaluasi menjelang Konferensi Perubahan Iklim COP30.

Dalam skema Perjanjian Paris, setiap negara diwajibkan menyusun dokumen Nationally Determined Contributions (NDC), yakni rencana aksi nasional dalam menekan emisi karbon dan menjaga suhu bumi.

Tujuan utama dari NDC adalah untuk menahan laju pemanasan global dengan menjaga peningkatan suhu tidak melebihi dua derajat Celsius, dan sebisa mungkin mendekati batas yang lebih aman yakni satu setengah derajat dibandingkan masa pra-industri.

Negara-Negara yang Sudah Menyerahkan NDC dan Tantangannya

Batas akhir penyerahan target iklim terbaru untuk tahun 2035 adalah tanggal 10 Februari 2025. Namun, hingga saat ini, baru lima belas dari 195 (seratus sembilan puluh lima) pihak yang memenuhi tenggat tersebut.

Per Mei, total negara yang telah mengajukan pembaruan NDC mencapai 21 (dua puluh satu), termasuk di antaranya Jepang, Kanada, Brasil, Inggris Raya, dan Uni Emirat Arab.

Sementara itu, Amerika Serikat mengumumkan keputusannya untuk keluar dari Perjanjian Paris setelah Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif di awal tahun ini. Padahal, hanya tersisa enam bulan sebelum COP30 dilaksanakan di Brasil.

Camilla More, peneliti diplomasi iklim dari IIED, menyatakan kekhawatirannya, “Kita benar-benar perlu melihat negara-negara menyerahkan target iklim terbaru mereka. Target-target ini menunjukkan apakah para pemimpin dunia serius atau tidak dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, yang sudah menimbulkan malapetaka di seluruh dunia,” katanya dalam pernyataan yang dikutip dari Down to Earth, Senin (12/5/25).

Penilaian Terhadap NDC oleh Climate Action Tracker

Lebih dari 170 negara belum serahkan target iklim baru jelang COP30, berisiko hambat aksi global batasi pemanasan di bawah 1,5°C. Ilustrasi perubahan iklim global.
Lebih dari 170 negara belum serahkan target iklim baru jelang COP30, berisiko hambat aksi global batasi pemanasan di bawah 1,5°C. Ilustrasi perubahan iklim (Foto: Freepik)

Laporan Climate Action Tracker, sebuah lembaga independen yang menganalisis komitmen dan implementasi target iklim berdasarkan sains, telah menilai 20 (dua puluh) negara yang telah menyerahkan NDC mereka. Dari jumlah tersebut, 10 (sepuluh) negara telah dianalisis lebih lanjut.

Hasilnya menunjukkan hanya Inggris Raya yang memiliki target yang sejalan dengan batas pemanasan 1,5 derajat Celsius.

Meski begitu, lembaga Climate Analytics menilai komitmen Inggris belum mencerminkan kontribusi yang adil dalam skala global.

Mereka menyarankan agar Inggris meningkatkan pendanaan iklim untuk membantu negara-negara berkembang.

Selain itu, target iklim negara tersebut untuk tahun 2030 dianggap masih kurang ambisius dan tidak selaras dengan tujuan jangka panjang.

Investasi Inggris dan Kritik terhadap Ketergantungan Teknologi

Pemerintah Inggris diketahui berencana menginvestasikan hampir 22 miliar poundsterling untuk teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon.

Namun, Mark Maslin, Profesor Ilmu Pengetahuan Alam dari University College London, memperingatkan bahwa ketergantungan pada teknologi semacam itu justru bisa memperlambat peralihan ke energi bersih.

Ia menambahkan hal ini berisiko memperpanjang ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Dalam pernyataan lanjutannya, Camilla More menekankan urgensi tindakan nyata, “Setiap tahun, biaya krisis iklim terus meningkat. Kita perlu melihat tindakan yang berani dan ambisius untuk memangkas emisi dan mendukung masyarakat beradaptasi dengan realitas baru serta mengatasi dampak yang tak terhindarkan. Kita tidak bisa membiarkan populisme jangka pendek bertindak sebagai rem pada aksi iklim,” ujarnya.(*Sumber: Kompas.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *