DMBGlobal.CO.ID – Meningkatnya volume transaksi karbon di Indonesia, kebutuhan akan konsultan hukum sektor keuangan yang memahami aspek teknis dan regulasi menjadi semakin penting.
Para ahli hukum dituntut untuk menguasai seluk-beluk struktur kontrak, kepatuhan terhadap peraturan, serta strategi manajemen risiko yang kompleks di sektor karbon.
Pemerintah Indonesia saat ini terus memperkuat ekosistem perdagangan karbon melalui kebijakan regulasi, pengawasan ketat, serta kolaborasi lintas sektor.
Perdagangan karbon sendiri merupakan aktivitas jual beli unit karbon yang merepresentasikan pengurangan emisi gas rumah kaca untuk mencapai target emisi nasional maupun internasional.
Pelaksana tugas Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Bidang Perekonomian dan Pangan, Edy Priyono, menyoroti pentingnya peran konsultan hukum dalam mengawal titik-titik kritis pelaksanaan perdagangan karbon.
Beberapa aspek utama yang disebutkan Edy meliputi penentuan cap emisi antar sektor industri, penetapan harga karbon, verifikasi kredit karbon, penciptaan permintaan melalui edukasi produsen dan kampanye publik, serta pengawasan.
“Ini semua titik penting yang perlu diawasi dan relevan dengan konsultan hukum,” ujar Edy dalam Seminar III Himpunan Konsultan Hukum Sektor Keuangan (KHHSK) Tahun 2025, Selasa (24/6/2025).
Sejak peluncurannya pada September 2023, pasar karbon nasional menunjukkan pertumbuhan yang positif. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat adanya peningkatan signifikan dalam volume dan nilai transaksi, jumlah pengguna jasa, serta frekuensi perdagangan karbon.
Sebagai regulator, OJK berperan dalam pengaturan izin, pengawasan, serta pengembangan pasar karbon melalui bursa karbon.
Unit karbon kini diklasifikasikan sebagai efek, sehingga wajib tercatat di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dan di bursa penyelenggara perdagangan karbon.
Kepala Direktorat Pengaturan dan Standar Akuntansi Pasar Modal OJK, Halim Haryono, mengatakan pengawasan OJK dalam skema nilai ekonomi karbon fokus pada dua aspek utama:
Sistem perdagangan emisi karbon (cap and trade), yakni penetapan batas emisi dan distribusi allowance kepada pelaku usaha, yang bisa diperdagangkan jika ada surplus.
Mekanisme offset emisi gas rumah kaca (GRK), yaitu pengurangan emisi oleh satu entitas untuk menyeimbangkan emisi pihak lain.
Dalam sistem ini, konsultan hukum memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa struktur transaksi dan mitigasi risiko legal telah disusun dengan baik. Pasar karbon yang terus berkembang memunculkan beragam jenis perjanjian, baik di pasar primer maupun sekunder.

Denia Isetianti Permata, Pengurus KHHSK sekaligus Partner di Soemadipradja & Taher, mengungkapkan terdapat beberapa tipe kontrak yang umum dalam transaksi karbon, antara lain: Offtake Agreement, Pre-Purchase Agreement/Forward Sale Agreement, Investment Agreement, Framework Agreement, Carbon Development and Sales Agreement, serta Technical Agreement.
“Dalam menyusun atau menelaah kontrak terkait karbon, ada sejumlah aspek krusial yang perlu diperhatikan, yaitu hak dan kewajiban para pihak, komponen harga, timeline, pendaftaran dan otorisasi, exit strategy, dan force majeure,” ujarnya.
Meskipun tergolong baru di Indonesia, Denia menambahkan bahwa secara global sudah banyak studi kasus dan praktik kontrak yang dapat dijadikan acuan.
Hal ini membuka peluang bagi Indonesia untuk menyusun kerangka legal yang lebih matang dan adaptif dalam mendukung keberlanjutan perdagangan karbon di masa depan.* (Sumber: Hukumonline.com)