DMBGlobal.CO.ID – Climate Policy Initiative (CPI) meluncurkan laporan terbaru berjudul “Investment Needs of Indonesia’s Just Energy Transition: A Framework”, yang memaparkan kebutuhan investasi serta metodologi pembiayaan untuk mendukung transisi energi berkeadilan di Indonesia.
Laporan tersebut menyoroti pentingnya kerangka pendanaan yang disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi nasional, guna memastikan peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan berjalan adil, setara, dan berkelanjutan.
Dalam dokumen itu, CPI menawarkan metodologi pembiayaan yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan transisi energi di Indonesia. Pendekatan ini mencakup pengukuran investasi yang diperlukan guna mencapai target pemerintah dalam pengembangan energi terbarukan.
Sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, PT PLN (Persero) menargetkan 61 persen dari total tambahan pembangkit listrik baru berasal dari energi terbarukan — angka tertinggi sepanjang sejarah penyusunan RUPTL.
“Kerangka ini mengakui bahwa transisi berkeadilan tidak bisa sekadar diimpor dari negara-negara maju,” ujar Barbara Buchner, Global Managing Director CPI, dalam keterangan di Jakarta, Rabu (8/10/25).
Ia menegaskan, transisi energi di Indonesia harus mencerminkan realitas lokal, mencakup visi masyarakat terhadap masa depan, risiko yang dihadapi, serta peluang ekonomi yang muncul dari pengembangan energi bersih.
“Yang menempatkan kekuatan ekonomi lokal sebagai inti dari transisi tersebut,” tegas Barbara.
Kerangka yang dikembangkan CPI dibangun di atas empat pilar keadilan, yaitu pengakuan (recognitional justice), pemulihan (restorative justice), distribusi (distributive justice), dan prosedural (procedural justice).
Empat pilar itu menjadi dasar dalam menilai risiko dari pensiun dini pembangkit batu bara serta peluang ekonomi dari ekspansi energi terbarukan. Dalam pilar pemulihan, misalnya, CPI menyoroti pentingnya pelatihan ulang (reskilling) bagi pekerja di sektor batu bara dan pengembangan koperasi energi terbarukan untuk memperkuat ekonomi lokal.
Langkah tersebut dinilai dapat membantu menekan biaya transisi di masa depan, sekaligus memastikan proses peralihan energi berlangsung inklusif dan menguntungkan bagi seluruh pemangku kepentingan.
Kerangka pembiayaan ini sejalan dengan konsep Just Transition Framework dalam kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diadopsi pemerintah Indonesia.
Dampak Ekonomi Transisi Energi di Daerah

Selain kerangka nasional, CPI juga mengembangkan metode untuk menghitung manfaat ekonomi transisi energi di tingkat daerah. Pendekatan ini sudah diuji di Maluku dan Cirebon dan dinilai bisa direplikasi ke wilayah lain.
Di Cirebon, CPI melakukan studi atas rencana penutupan dini PLTU Cirebon. Analisis tidak hanya menghitung jumlah tenaga kerja terdampak, tetapi juga menilai potensi ekonomi baru dari sektor energi terbarukan.
“Sebelum ada PLTU, masyarakat di sana petambak garam. Setelah PLTU beroperasi, mereka mengaku kualitas garam produksinya berkurang,” kata Tiza Mafira, Direktur CPI Indonesia.
Sementara di Maluku, CPI menemukan bahwa pemanfaatan tenaga surya untuk menggantikan sistem pendingin berbahan bakar diesel mampu meningkatkan efisiensi penyimpanan hasil tangkapan ikan.
Menurut Tiza, penerapan sistem pendingin bertenaga listrik terbarukan dapat meningkatkan hasil tangkapan nelayan dari 50 ton menjadi 214 ton per hari. Pendapatan nelayan juga meningkat signifikan dari Rp43 juta menjadi Rp368 juta per tahun, dengan total pendapatan tahunan mencapai Rp53 miliar — jauh melebihi biaya investasi Rp10 miliar.
“Studi kasus Maluku membuktikan bahwa energi terbarukan, ketika dihubungkan dengan industri lokal seperti perikanan, dapat memberikan manfaat ekonomi bersih yang lebih besar dibanding energi fosil. Sedangkan studi di Cirebon menekankan perlunya kerangka pembiayaan yang terstruktur untuk pensiun dini PLTU,” ujar Tiza.* (Sumber: Infobanknews.com)
